AGAM – Pembagian daging kurban Lebaran yang berbeda dan penuh makna tengah berlangsung di Kabupaten Agam, Sumatera Barat, pada Hari Raya Idul Adha tahun ini. Bertajuk “Manampuang,” warga setempat menggunakan cara tradisional untuk mendistribusikan daging kurban kepada yang membutuhkan. Kegiatan ini tak hanya menggambarkan semangat gotong royong, tetapi juga menyatukan berbagai elemen masyarakat dalam nuansa kebersamaan dan kepedulian sosial.
Pembagian Daging Kurban dengan Sistem “Manampuang” di Agam
Pada setiap perayaan Idul Adha, pembagian daging kurban menjadi salah satu kegiatan yang dinantikan oleh masyarakat. Di Agam, sistem pembagian daging yang sudah ada sejak lama ini dikenal dengan nama “Manampuang”. Sistem ini mengedepankan prinsip keadilan sosial dan partisipasi aktif dari masyarakat dalam melaksanakan ibadah kurban.
Penyembelihan hewan kurban dilakukan di masjid dan lapangan terbuka di berbagai nagari (desa) yang tersebar di wilayah Agam. Namun yang membedakan adalah cara distribusinya. Mereka berkumpul dalam kelompok yang disebut “sungai” dan membagikan daging dengan cara bergiliran sesuai kesepakatan.
Sejarah dan Filosofi di Balik Manampuang Pembagian Daging Kurban Lebaran
Menurut beberapa tokoh adat setempat, “Manampuang” berasal dari tradisi lama yang sudah ada sejak era kerajaan Minangkabau. Tradisi ini menekankan pada semangat gotong royong dan tanggung jawab sosial. Pada zaman dahulu, pembagian daging kurban tidak hanya melibatkan keluarga dekat, tetapi juga diperluas kepada tetangga dan orang yang membutuhkan di sekitar nagari tersebut.
“Sistem ini bukan hanya soal pembagian daging, tetapi juga tentang menciptakan rasa kebersamaan dan meningkatkan kesadaran sosial. Setiap orang memiliki hak yang sama untuk menerima bagian dari hewan kurban, tanpa memandang latar belakang sosial maupun ekonomi,” ujar Irwan Suryadi, seorang tokoh adat di Agam.
Baca Artikel Lainnya : Pangan Perkuat Persahabatan Antar Qatar-Indonesia Di Medan
Proses Pembagian yang Melibatkan Semua Pihak
Pada pagi hari Idul Adha, warga Agam mulai menyiapkan peralatan dan lokasi untuk penyembelihan hewan kurban. Biasanya, hewan kurban berupa sapi dan kambing akan dipotong di masjid atau tanah lapang yang sudah ditentukan. Selanjutnya, warga akan bergotong royong memotong daging dan menyiapkannya untuk dibagikan. Proses pembagian dimulai dengan pembentukan kelompok-kelompok kecil yang disebut “sungai,” di mana masing-masing kelompok terdiri dari beberapa kepala keluarga yang akan menerima daging kurban sesuai dengan kesepakatan bersama.
Setelah daging dipotong, setiap “sungai” akan mengantarkan bagian daging kepada warga yang telah disepakati dalam daftar pembagian. Tidak ada perbedaan antara warga kaya atau miskin dalam sistem ini, karena tujuan utamanya adalah memastikan setiap orang yang berhak menerima daging kurban mendapat bagiannya secara adil.
Pentingnya Manampuang dalam Membangun Solidaritas Sosial
Tradisi “Manampuang” ini membawa dampak positif bagi masyarakat Agam. Selain mempererat tali persaudaraan antara warga, sistem ini juga menjadi sarana untuk meningkatkan rasa saling peduli dan menghargai antarwarga. Hal ini sangat penting dalam menciptakan masyarakat yang lebih harmonis dan bersatu, di tengah berbagai perbedaan yang ada.
“Manampuang adalah bentuk nyata dari semangat gotong royong yang masih hidup di masyarakat Agam. Ini adalah cara kami untuk saling berbagi kebahagiaan dan memastikan bahwa tidak ada yang terpinggirkan dalam perayaan ini,” kata Ahmad Muchtar, seorang warga Agam yang terlibat dalam pembagian daging kurban.
Tantangan dan Harapan di Masa Depan
Meski demikian, pembagian daging dengan sistem ini tidak lepas dari tantangan. Salah satu tantangan utama adalah mengelola distribusi daging kurban yang semakin banyak di tengah jumlah penduduk yang terus berkembang. Untuk itu, panitia penyembelihan hewan kurban di Agam berencana untuk mengembangkan sistem ini dengan melibatkan teknologi agar pembagian daging dapat dilakukan lebih efisien, namun tetap mempertahankan nilai-nilai gotong royong yang ada.
“Ke depan, kami berharap ‘Manampuang’ dapat terus berjalan dan semakin banyak masyarakat yang bisa merasakan manfaatnya. Kami juga akan terus berupaya untuk meningkatkan koordinasi antara masyarakat dan pemerintah daerah agar distribusi daging kurban tetap lancar dan tepat sasaran,” ujar Yusril Ihza, Kepala Dinas Agama Kabupaten Agam.
Penutup: Mempertahankan Tradisi dengan Inovasi
Manampuang bukan hanya sekadar cara pembagian daging kurban. Lebih dari itu, tradisi ini mengandung makna yang dalam tentang kebersamaan, keadilan sosial, dan peduli terhadap sesama. Seiring dengan perkembangan zaman, masyarakat Agam berupaya untuk menjaga tradisi ini tetap hidup, sembari berinovasi untuk menjadikannya lebih efektif dan efisien. Dengan semangat kebersamaan yang terus tumbuh, diharapkan tradisi “Manampuang” ini akan terus menjadi bagian dari identitas masyarakat Agam, bahkan dapat menjadi contoh bagi daerah lain di Indonesia.